JSN NEWS

Jaringan Suara Nusantara

Anggota DPRD Kutim Tanggapi Kasus Anak Positif HIV, Desak Pemenuhan Hak Pendidikan

anggota DPRD Kutai Timur (Kutim), Ahmad Sulaiman. (Ist)

Kutai Timur – Kasus seorang anak di Muara Ancalong yang positif HIV dan telah tiga tahun tidak diizinkan mengikuti pembelajaran tatap muka mendapat perhatian serius dari anggota DPRD Kutai Timur (Kutim), Ahmad Sulaiman.

Anggota Komisi D DPRD Kutim itu menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar yang wajib dinikmati oleh semua warga tanpa diskriminasi.

“Pendidikan formal adalah hak dasar yang harus dinikmati seluruh masyarakat Kutai Timur tanpa pengecualian. Kasus seperti ini seharusnya tidak terjadi. Kita perlu komunikasi intensif antara Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan untuk mencari solusi terbaik,” ujar Ahmad Sulaiman, Sabtu (11/1/2024).

Ahmad Sulaiman menyoroti pentingnya edukasi untuk mengurangi stigma di masyarakat, khususnya di lingkungan sekolah.

Ia menegaskan bahwa HIV adalah penyakit serius, tetapi penularannya tidak mudah terjadi, terutama melalui interaksi sehari-hari di ruang belajar.

“Jika ada hasil dari pihak rumah sakit yang menyatakan anak tersebut aman untuk bersekolah tatap muka, kita harus menjelaskan kepada warga sekolah. Edukasi perlu dilakukan agar kekhawatiran mereka dapat diminimalkan,” jelasnya.

Ahmad juga mendesak Dinas Pendidikan Kutim untuk segera bertindak menyelesaikan masalah ini, mengingat sudah berlangsung selama tiga tahun tanpa solusi konkret.

“Dinas Pendidikan harus memberikan penjelasan yang jelas kepada masyarakat. Tidak seharusnya anak ini terus menerima diskriminasi yang berlarut-larut. Kita membutuhkan solusi konkret secepatnya,” tegasnya.

Ia berharap ada kolaborasi yang lebih intensif antara Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan untuk memastikan anak tersebut dapat kembali mengakses pendidikan formal seperti anak-anak lainnya.

Kasus ini, menurut Ahmad, menjadi pengingat pentingnya langkah edukasi dan kebijakan yang inklusif untuk melindungi hak anak, terlepas dari kondisi kesehatannya.

Diberitakan sebelumnya, seorang anak berinisial SAH (12), siswa kelas 5 Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, menghadapi diskriminasi berat.

Selama tiga tahun terakhir, SAH tidak dapat mengikuti pendidikan formal secara tatap muka seperti teman-temannya.

“Anak saya sudah tiga tahun tidak sekolah tatap muka seperti anak pada umumnya. Saya kasihan melihat kondisinya,” ujar ibu SAH, Sabtu (11/1/2024).

Masalah bermula pada tahun 2019, ketika SAH didiagnosis menderita anemia aplastik yang memerlukan transfusi darah rutin di sebuah rumah sakit di Samarinda.

Namun, saat transfusi darah ketiga, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa SAH positif HIV.

Orang tua SAH, yang turut menjalani tes untuk memastikan, mendapatkan hasil negatif.

“Kami bingung kenapa anak kami bisa positif, sedangkan kami orang tuanya negatif. Tes tersebut bahkan dilakukan dua kali untuk memastikan hasilnya,” kata ibu SAH.

Setelah diagnosis tersebut, SAH tidak diizinkan untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolahnya.

Penolakan datang dari pihak sekolah, perusahaan tempat orang tuanya bekerja, dan beberapa wali murid yang keberatan dengan kehadiran SAH.

Padahal, ibu SAH menjelaskan bahwa anaknya memiliki surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa ia aman untuk bersekolah tatap muka.

“Dokter juga mengatakan bahwa HIV tidak menular melalui kontak biasa,” tegasnya.

Ibu SAH menambahkan bahwa kondisi fisik dan kesehatan anaknya saat ini sama seperti anak-anak lainnya.

SAH juga rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, meski secara medis dinyatakan sehat dan tidak berisiko menularkan HIV, SAH tetap terkurung di rumah, tanpa akses ke pendidikan formal. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini